Senin, 20 Desember 2010

Musik Tradisi Karo Dicemaskan Akan Punah

Modernisasi dikhawatirkan telah mengancam musik tradisional, termasuk musik Karo.


Jari-jari tangan Jasa Tarigan begitu lincah bermain dengan “kulcapi”, gitar Karo bersenar dua itu, seakan membius. Sambil duduk bersila, badannya turut ia gerak-gerakkan seiring dengan melodi, tempo dan dinamika repertoar “Penginjak Kuda Sitajur” yang sedang ia mainkan malam itu. Penonton pun terhanyut seakan dibawa ke sebuah pengalaman lain. Tak terasa durasi musik sekitar 7 menit berakhir sudah. Begitu mempesona. Tepuk tangan penonton segera menyambut hangat.
Itulah sekilas yang terekam saat “Festival Musik Tradisional Karo” digelar di Restoran Kenanga, Medan, Selasa malam (25/11) lalu. Festival ini sekaligus menjadi penutup rangkaian program revitalisasi musik tradisional yang diselenggaran oleh Rumah Musik Suarasama Medan bekerjasama dengan Universitas Sumatra Utara Medan atas dukungan The Ford Foundation, Amerika Serikat.
Sebelumnya, festival musik tradisi yang mewakili etnis lainnya Sumatra Utara juga telah digelar di tiga daerah. Festival pertama (Batak Toba) digelar di TB. Silalahi Center pada Kamis, 20 November. Festival musik tradisi Simalungun digelar di Aula SMA Plus Presidium Partuha Maujana Simalungun Sondi Raya, Pematang Raya, Sabtu (22/11). Festival musik tradisi Pakpak digelar di Gedung Serba Guna Pemkab Pakpak Bharat, Salak, Senin (24/11).
Yang menarik, tak hanya pemusik tradisi yang sudah dedengkot yang tampil malam itu. Tapi, juga beberapa murid-murid program revitalisasi yang telah mengikuti pelatihan oleh pemusik senior selama dua tahun.
Seperti misi revitalisasi musik tradisional yang telah dilakukan sejak 2007 lalu, festival ini memang sekaligus memberikan gambaran tentang apa yang sedang terjadi pada musik tradisional dewasa ini.
“Kita tidak menginginkan kekayaan budaya kita, seperti musik tradisional, nantinya punah oleh kuatnya pengaruh modernisasi. Itulah sebenarnya latar belakang program revitalisasi ini,” kata Rithaony Hutajulu, selaku ketua program revitalisasi. Program ini juga turut melibatkan Irwansyah Harahap, selaku koordinator monitor program, Proff. Ramon Santos, seorang komposer Filifina selaku eksternal evaluator, Juara R. Ginting selaku ketua pelaksana festival.
Rithaony menjelaskan, dengan lahirnya pemusik-pemusik tradisi generasi baru, diharapkan musik tradisional yang sudah ada tetap hidup terus beregenerasi. “Sebab, musik tradisi adalah kekayaan. Juga sebagai penanda identitas,” katanya.
Memang, tampak jelas sekali bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya “gendang keyboard” yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya.
Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Tapi, juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan.
Jasa Tarigan sendiri yang konon disebut perintis lahirnya”gendang keyboard” menjadi orang yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun di sisi lain pemusik yang juga menguasai beberapa alat musik tradisional Karo, itu juga dianggap berperan aktif telah mempopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di seluruh Indonesia bahkan dunia internasional.
“Sebenarnya, teknologi tidak bisa selalu menjadi objek yang disalahkan karena dinggap telah mempengaruhi keaslian musik tradisi. Tapi, yang lebih penting diperhatikan ialah, janganlah sampai teknologi itu yang menggantikan musik tradisi yang sudah ada, tapi justru semakin memperkayanya,” kata Rithaony Hutajulu.
Tentu saja hal itu akan menjadi “pekerjaan rumah” (PR) serius. Seperti dikatakan Proff. Ramon Santos, ini bukan lagi hanya akan menjadi PR Rumah Musik Suarasama, USU atau Ford Foundation, tetapi turut menjadi tanggungjawab masyarakat dan seniman Karo sendiri.
“Akhirnya, program ini akan dikembalikan kepada masyakatnya. Artinya, sangat diharapkan kesadaran masyarakat semakin terbuka. Sehingga, keberadaan musik tradisi ini tetap bisa dijaga,” ujar Ramon Santos, komposer cum etnomusikolog dari University of Philiphine itu.
Selain murid-murid program revitalisasi, beberapa seniman tradisi Karo lain juga turut tampil malam itu. Di antaranya, Ramlah Sitepu, penyenandung nyanyian “simasu-masu” yang tampil dengan beberapa murid “perkolong-kolong”.
Ada juga Imail Bangun yang memainkan gendang “singindungi” Ismail Bangun, tiupan “sarune” Dekeng Sembiring, Teguh Tarigan yang membawakan tradisi “manman” (senandung yang diiringi dengan musik). Dan, kelompok musik tradisional “Group Kabanjahe”.
Tampak juga antusiasme positif masyarakat Karo sendiri dengan festival itu. Selain warga, turut hadir beberapa tokoh masyarakat Karo, seperti Ketua Himpunan Masyarakat Karo Indonesia Rimenda Jamin Ginting, dan beberapa utusan dari Asosiasi Seniman Karo Indonesia, Bengkel Seni Jakarta. 
 

artikel terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar