Senin, 20 Desember 2010

Untuk Juri Yang Terhormat.....

            Saya sungguh senang mengikuti perlombaan ini, dan tentunya sangat senang melihat para panitia yang begitu semangat dalam menjalankan acara ini.
            melihat tema yang kita angkat kali ini, saya sangat terinspirasi, karena begitu saya membaca tema tersebut pikiran saya langsung terbuka dan ingin mempublikasikan budaya dari suku saya. yakni suku karo. menurut saya dengan kita mempublikasikan budaya kita maka orang akan lebih mengenal indonesia dan budayanya.
            kegiatan ini memang sangat perlu dilaksanakan untuk meningkatkan smangat generasi muda dalam menjunjung budayanya. dalam perlombaan ini, sebagai peserta hanya ini lah yang dapat saya lakukan demi terselenggaranya acara ini.
           semoga apa yang saya perbuat dapat bermanfaat kedepannya..
 terima kasih..
salam...
profil lengkap saya

Musik Tradisi Karo Dicemaskan Akan Punah

Modernisasi dikhawatirkan telah mengancam musik tradisional, termasuk musik Karo.


Jari-jari tangan Jasa Tarigan begitu lincah bermain dengan “kulcapi”, gitar Karo bersenar dua itu, seakan membius. Sambil duduk bersila, badannya turut ia gerak-gerakkan seiring dengan melodi, tempo dan dinamika repertoar “Penginjak Kuda Sitajur” yang sedang ia mainkan malam itu. Penonton pun terhanyut seakan dibawa ke sebuah pengalaman lain. Tak terasa durasi musik sekitar 7 menit berakhir sudah. Begitu mempesona. Tepuk tangan penonton segera menyambut hangat.
Itulah sekilas yang terekam saat “Festival Musik Tradisional Karo” digelar di Restoran Kenanga, Medan, Selasa malam (25/11) lalu. Festival ini sekaligus menjadi penutup rangkaian program revitalisasi musik tradisional yang diselenggaran oleh Rumah Musik Suarasama Medan bekerjasama dengan Universitas Sumatra Utara Medan atas dukungan The Ford Foundation, Amerika Serikat.
Sebelumnya, festival musik tradisi yang mewakili etnis lainnya Sumatra Utara juga telah digelar di tiga daerah. Festival pertama (Batak Toba) digelar di TB. Silalahi Center pada Kamis, 20 November. Festival musik tradisi Simalungun digelar di Aula SMA Plus Presidium Partuha Maujana Simalungun Sondi Raya, Pematang Raya, Sabtu (22/11). Festival musik tradisi Pakpak digelar di Gedung Serba Guna Pemkab Pakpak Bharat, Salak, Senin (24/11).
Yang menarik, tak hanya pemusik tradisi yang sudah dedengkot yang tampil malam itu. Tapi, juga beberapa murid-murid program revitalisasi yang telah mengikuti pelatihan oleh pemusik senior selama dua tahun.
Seperti misi revitalisasi musik tradisional yang telah dilakukan sejak 2007 lalu, festival ini memang sekaligus memberikan gambaran tentang apa yang sedang terjadi pada musik tradisional dewasa ini.
“Kita tidak menginginkan kekayaan budaya kita, seperti musik tradisional, nantinya punah oleh kuatnya pengaruh modernisasi. Itulah sebenarnya latar belakang program revitalisasi ini,” kata Rithaony Hutajulu, selaku ketua program revitalisasi. Program ini juga turut melibatkan Irwansyah Harahap, selaku koordinator monitor program, Proff. Ramon Santos, seorang komposer Filifina selaku eksternal evaluator, Juara R. Ginting selaku ketua pelaksana festival.
Rithaony menjelaskan, dengan lahirnya pemusik-pemusik tradisi generasi baru, diharapkan musik tradisional yang sudah ada tetap hidup terus beregenerasi. “Sebab, musik tradisi adalah kekayaan. Juga sebagai penanda identitas,” katanya.
Memang, tampak jelas sekali bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya “gendang keyboard” yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya.
Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Tapi, juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan.
Jasa Tarigan sendiri yang konon disebut perintis lahirnya”gendang keyboard” menjadi orang yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun di sisi lain pemusik yang juga menguasai beberapa alat musik tradisional Karo, itu juga dianggap berperan aktif telah mempopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di seluruh Indonesia bahkan dunia internasional.
“Sebenarnya, teknologi tidak bisa selalu menjadi objek yang disalahkan karena dinggap telah mempengaruhi keaslian musik tradisi. Tapi, yang lebih penting diperhatikan ialah, janganlah sampai teknologi itu yang menggantikan musik tradisi yang sudah ada, tapi justru semakin memperkayanya,” kata Rithaony Hutajulu.
Tentu saja hal itu akan menjadi “pekerjaan rumah” (PR) serius. Seperti dikatakan Proff. Ramon Santos, ini bukan lagi hanya akan menjadi PR Rumah Musik Suarasama, USU atau Ford Foundation, tetapi turut menjadi tanggungjawab masyarakat dan seniman Karo sendiri.
“Akhirnya, program ini akan dikembalikan kepada masyakatnya. Artinya, sangat diharapkan kesadaran masyarakat semakin terbuka. Sehingga, keberadaan musik tradisi ini tetap bisa dijaga,” ujar Ramon Santos, komposer cum etnomusikolog dari University of Philiphine itu.
Selain murid-murid program revitalisasi, beberapa seniman tradisi Karo lain juga turut tampil malam itu. Di antaranya, Ramlah Sitepu, penyenandung nyanyian “simasu-masu” yang tampil dengan beberapa murid “perkolong-kolong”.
Ada juga Imail Bangun yang memainkan gendang “singindungi” Ismail Bangun, tiupan “sarune” Dekeng Sembiring, Teguh Tarigan yang membawakan tradisi “manman” (senandung yang diiringi dengan musik). Dan, kelompok musik tradisional “Group Kabanjahe”.
Tampak juga antusiasme positif masyarakat Karo sendiri dengan festival itu. Selain warga, turut hadir beberapa tokoh masyarakat Karo, seperti Ketua Himpunan Masyarakat Karo Indonesia Rimenda Jamin Ginting, dan beberapa utusan dari Asosiasi Seniman Karo Indonesia, Bengkel Seni Jakarta. 
 

artikel terkait

Rumah Adat Karo

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.
Si waluh jabu
Si waluh jabu


Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
    a. Rumah sianjung-anjung Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
    b. Rumah Mecu. Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.
Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
    a. Rumah Sangka Manuk. Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
b. Rumah Sendi.
Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik.
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.
    Jabu dalam Rumah Adat
Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.
Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
    1. Jabu Benana Kayu. Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya. Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
    2. Jabu ujung Kayu (anak beru). jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
    3. Jabu Lepar Benana Kayu Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi).
    4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem) Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem. Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas jabu.
    5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel). Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.
    6. jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng). Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.
    7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru). Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
8. Jabu sedapuren lepar benana kayu
Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.

selengkapnya......

artikel terkait
Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo
Sangkep Nggeluh dalam Adat Karo
Alat Musik Karo
Suku Batak Karo

Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo

Bagi masyarakat Karo, dikenal istilah uga gendangna bage endekna, yang artinya bagaimana musiknya, harus demikian juga gerakannya (endek). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagai sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki saja. Oleh sebab itu endek tidak dapat disamakan sebagai tari, meskipun unsur tarian itu ada disana. Hal ini disebabkan konsep budaya itu sendiri yang memberi makna yang tidak dapat diterjemahkan langsung kata per kata. Karena konsep tari itu sendiri mempunyai perbedaan konsep seperti konsep tari yang dalam berbagai kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.

Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam ‘musik’ atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,
    (1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya;
    (2) gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;
    (3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya;
    (4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan
    (5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.
Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang sesuai dengan musik pengiring (accompaniment) atau musik yang dikonsepkan pada diri sipenari sendiri, karena ada kalanya juga gerakan-gerakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tarian, namun tidak mempunyai musik pengiring. Kegiatan menari itu sendiri disebut dengan landek, namun untuk nama tari jarang sekali dipakai kata landek, jarang sekali kita pernah mendengar untuk menyebutkan landek roti manis untuk tari roti manis atau tarian lainnya. Malah lebih sering kita dengar dengan menggunakan istilah yang diadaptasi dari bahasa Indonesia yaitu ‘tari’, contohnya tidak menyebut Landek Lima Serangke, tapi Tari Lima Serangke. Landek langsung terkait dengan kagiatan, bukan sebagai nama sebuah tarian.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan yang gemulai, lembut. Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan sebagainya.
Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa style yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relative cepat, yaitu antara lain yang lazim dikenal adalah:
    cak-cak simalungen rayat, dengan tempo lebih kurang 60 – 66 jika kita konversi dalam skala Metronome Maelzel. Apabila kita buat hitungan berdasarkan ketukan dasar (beat), maka cak-cak ini dapat kita kategorikan sebagai cak-cak bermeter delapan. Artinya pukulan gung dan penganak (small gong) sebagai pembawa ketukan dasar diulang-ulang dalam hitungan delapan;
    cak-cak mari-mari, yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat. Temponya lebih kurang 70 hingga 80 per menit;
    cak-cak odak-odak, yang merupakan cak-cak yang temponya lebih kurang 90 – 98 per menit dalam skala Maelzel.
    cak-cak patam-patam, merupakan cak-cak kelipatan bunyi ketukan dasar dari cak-cak odak-odak, dan temponya biasanya lebih dipercepat sedikit antara 98 sampai 105. Endek kaki dalam cak-cak ini merupakan kelipatan endek dari cak-cak odak-odak.
    cak-cak gendang seluk, yaitu cak-cak yang sifatnya progressif, semakin lama semakin cepat, yang biasanya dimulai dari cak-cak patam-patam. Jika dikonversi dalam skala metronome Maelzel, kecepatannya bias mencapai 160-an, dan cak-cak silengguri, biasanya cak-cak ini paling cepat, karena cak-cak ini dipakai untuk mengiringi orang yang intrance atau seluk (kesurupan).
Sejarah dan Makna Filosofi
Berbicara tentang sejarah seni tari Karo, maka kita akan dihadapkan pada kajian folklore, karena tidak ada tanggal-tanggal yang pasti diketahui kapan munculnya tarian Karo. Tetapi pada umumnya tari yang unsur dasarnya adalah gerak dapat kita temui dalam ritus-ritus dan upacara-upacara tradisional yang ada pada masyarakat Karo. Dengan demikian makna dari setiap gerakan-gerakan mempunyai makna dan filosofi tergantung jenis tarinya. Meskipun demikian ada beberapa hal yang terkait dengan tari karo, misalnya gerakan tangan yang lempir, pandangan mata, endek nahe, b ukan buta-buta. Disamping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga mempunyai makna tersendiri.
Ada beberapa makna dari gerakan tari Karo berupa perlambangan, yaitu:
    gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah melambangkan tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam bertindak;
    Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling tolong menolong dan saling membantu;
    gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan, ataupun tidak kenal maka tidak saying;
    gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat; gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe labanci ndeher, artinya siapapun tidak bias mendekat dan berbuat sembarangan;
    gerakan tangan sampai kepala dan membentuk seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang sebelum memutuskan, piker dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna;
    gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangkan baban simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya mampu berbuat mampu bertanggung jawab dan serasa sepenanggunan gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab;
    dan gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise per eh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang dating jika sudah berkenalan dan mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga (kade-kade).
Jenis-jenis Tarian Karo

Tari Komunal


Yang termasuk dalam tarian ini pada masyarakat Karo terdapat beberapa macam yang terkait dengan upacara-upacara adapt misalnya dalam upacara-upacara adat dan peranan-peranan social dalam adapt itu sendiri yang terbagi dalam kelompok-kelompok social tertentu yang sesuai dengan filosofi adapt Karo ‘merga si lima, tutur si waluh, rakut si telu’ Secara kelompok social dapat dibagi menjadi: landek kalimbubu (masih dapat dikelompokkan lebih spesifik lagi); landek sukut (senina, sembuyak, siparibanen, sepengalon, siparibanen, sigameten); landek anak beru dan sebagainya. Juga dalam jenis tari komunal ini masih terdapat bebrapa jenis tarian, misalnya dalam acara guro-guro (acara muda-mudi). Dalam acara ini juga terdapat kelompok-kelompok tarian komunal yang dibagi berdasarkan merga atau beru, tergantung daerahnya. Namun biasanya didahului oleh merga simantek kuta atau orang yang pertama sekali menempati wilayah tertentu dimana upacara tersebut berlangsung, atau biasa juga disebut dengan kalimbubu taneh. Adapun jenis-jenis tarian untuk kategori ini adalah dapat kita temukan dalam upacara-upacara:
kerja erdemu bayu (perkawinan)
merdang merdem atau kerja tahun (upacara pertanian)
nurun-nurun (upacara kematian)
guro-guro aron (muda-mudi)
ersimbu (upacara memanggil hujan), atau biasa juga disebut dengan dogal-dogal
mengket rumah mbaru (meresmikan rumah baru)
ngukal tulan-tulan (menggali tulang)
ngalo-ngalo, dll.
Tari Khusus

Jenis-jenis tarian ini terkait dengan hal-hal yang sifatnya khusus dan bukan bersifat umum, yaitu yang berhubungan dengan dengan peranan seseorang, misalnya:
gendang guru (dukun)
seluk (trance)
perumah begu (memanggil roh)
erpangir ku lau (keramas, bathing ceremony)
perodak-odak
tari tungkat
tari baka
Tari Tontonan

Perkolong-kolong (permangga-mangga)
Mayan atau Ndikkar (seni bela diri khas Karo)
Tari Kuda-Kuda (Simalungun: Hoda-Hoda)
Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya)
Tari Kreasi Baru

tari roti manis
tari terang bulan
tari lima serangke
tari telu serangke,
tari uis gara, dll.
Tari Sigundari, yaitu tari-tarian yang diciptakan berdasarkan lagu-lagu popular Karo, termasuk gendang kibot.
Fungsi Tarian Karo
penghayatan estetis
pengungkapan emosional
hiburan
komunikasi
fungsi perlambangan
reaksi jasmani
berkaitan dengan norma-norma social
pengesahan lembaga social atau status social tertentu
keseinambungan kebudayaan
pengintegrasian masyarakat
pendidikan

Selengkaapnya kunjungi...

klik link ini

Artikel terkait
Rumah Adat Karo
Sangkep Nggeluh dalam Adat Karo
Alat Musik Karo
Suku Batak Karo

Sangkep Nggeluh dalam Adat Karo

Untuk memahami adat-istiadat Karo secara baik tidak ada jalan lain selain terlebih dahulu memahami tentang sangkep nggeluh pada merga silima, karena dalam setiap pelaksanaan adat-istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.
Sangkep nggeluh adalah suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat karo yang secara garis besar terdiri atas senina, anak beru, dan kalimbubu.
Pusat dari sangkep nggeluh adalah sukut yaitu pribadi/keluarga/merga tertentu, yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu-nya. Sukut dalam pesta perkawinan akan menerima uang jujuran berupa bena emas (erdemu bayu) atau batang unjuken (petuturken).

Dalam melaksanakan upacara adat tertentu seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkep nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam acara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin dan orang tuanya. Atau dalam kematian, sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal. Atau dalam hal memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah itu sendiri.
Untuk lebih memahami hal tersebut, terlebih dahulu hendaklah diketahui cara orang Karo menarik garis keturunan (lineage) baik dari keturunan ayah (patrilineal) maupun dari garis keturunan ibu (matrilineal) yang melekat pada setiap individu suku Karo, yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan tutur (terombo). Adapun cara menarik garis keturunan atau tutur meliputi :
    1. Merga/Beru. Merga/Beru adalah nama keluarga bagi seseorang dari nama keluarga (merga) ayahnya. Untuk anak perempuan disebut beru. Bagi anak laki-laki merga ini akan diwarikan secara turun-temurun. Merga/Beru pada suku Karo secara garis besar ada lima yaitu :
    a. Ginting b. Karo-karo c. Peranginangin d. Sembiring dan e. Tarigan
    2. Bere-Bere Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Kalau ibunya beru Peranginangin, maka dia bere-bere Peranginangin, kalau ibunya beru Sembiring maka anaknya jadi bere-bere Sembiring, dan seterusnya.
    3. Binuang Binuang adalah nama kelaurga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayahnya (bere-bere bapa) atau dari marga simada dareh ayahnya atau dari neneknya (ibu dari ayahnya).
    4. Kempu (Perkempun) Kempu (perkempun) adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang (berasal) dari merga puang kalimbubu-nya atau dari bere-bere ibunya atau dari beru neneknya (ibu dari ibunya).
    5. Kampah Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari merga kalimbubu simada dareh kakeknya atau bere-bere nini (ayah dari ayahnya) atau beru dari ibu kakeknya (ayah dari ayahnya) atau beru dari istri empung-nya dari pihak ayah.
    6. Soler Soler adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari marga puang nu puang kalimbubu atau merga dari singalo perkempun ibu atau beru empung (ibu dari nenek).
Jadi, ada enam nama keluarga (merga/beru) yang dimiliki setiap individu suku Karo. Dengan demikian, jelas bahwa suku Karo menarik garis keturunan secara bilateral, yakni dari pihak ayah dan ibu sekaligus. Untuk jelasnya, perhatikan gambar dibawah ini.
sangkep

selengkapnya....

artikel terkait....
Suku Batak Karo
Alat Musik Karo
Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo
Rumah Adat Karo

Alat Musik Karo

Sierjabaten begitulah sebutan Orang Karo kepada pemain musik tradisional-nya, dimana mereka (Sierjabaten atau penggual) berfungsi sebagai pengiring musik upacara adat Suku Karo, baik itu pernikahan, pesta panen, Kemalangan atau lainnya. Jadi dari hal tersebut maka sebenarnya profesi ini bisa dibilang sudah cukup lama sekali ada dalam perkembangan dan perjalanan hidup Suku Karo. Mengenai kepastian mulai kapan julukan atau penamaan ini mulai dikenal dan di populerkan saya kurang tau pasti , yang jelas profesi ini berkaitan sekali dengan kesenian tradisional Suku Karo. Jadi menurut saya mereka mulai dikenal ketika masyarakat Karo menyadari kebutuhan akan hiburan dalan setiap acara adat mereka.

Pada kenyataanya peran serta mereka sangatlah vital dalam setiap acara pesta adat, sebab tanpa mereka sebuah acara adat tidak lengkap dan sempurna, mereka adalah sekumpulan penghibur juga bisa dibilang irama, nyawa dan tolak ukur kemeriahan sebuah acara adat. Semakin hebat keahlian mereka dalam bermain musik maka makin tinggi pula pamor mereka (Sierjabaten) dimata masayarakat Karo.
Sierjabaten memiliki keahlian dalam bemain berbagai macam alat musik tradisoanal Karo yang terdiri atas Sarune, Gendang Singanaki, Gendang singindungi, Gendang penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik mempunyai nama masing masing sesuai dengan alat musik yang mereka mainkan, pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggua, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho.
Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasan mengenai setiap alat musik Tradisonal Karo :
A. Sarune.

    a. Anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut,
    b.Tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara satu lobang nada dengan nada yang lain pada lobang sarune,
    c. ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dnegan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,
    d. batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang 1 ke lobang adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm.
    e. gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.
B. Gendang

Alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk). Gendang singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah:
    tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang endang. Bingkainya terbuat dari bambu.
    Tali gendang lazim disebut dengan tarik gendang terbuat dari kayu nangka(Artocarpus integra sp). Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruhan 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu
    jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penampang dan penampung relatif 2 cm.
    Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.
C. Gung dan penganak

Yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung ini diklasifikasikan ke dalam kategori idiofon yang terbuat dari logam yang cara memainkannya digantung. Gung terbuat dari tembaga, berbentuk bundar mempunyai pencu. Gung dalam musik tradisional Karo terbagi dua yaitu gung penganak dangung. Salah satu contoh ukuran gung penganak diameternya 15,6 cm dengan pencu 4 cm dan ketebalan sisi lingkarannya 2,8 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapis dengan karet. Gung mempunyai diameter 65 cm dengan pencu berdiameter 15 cm dan tebal sisi lingkarannya 10 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi karet.
Demikianlah sedikit informasi dan pembahasan yang saya dapat dari internet, semoga berguna. Pesan moral yang ingin saya sampaikan adalanh, saat ini sulit sekali menemui Sierjabaten yang Tradisional, karena saat ini lebih banyak dan lebih populer Sierjabaten yang mengunakan alat Moderen yang lebih dikenal dengan Keyboard (Pekeyboard)…Gendang Karo tradisoanal mulai tergeser dengan gendang karo moderen…Olah sebap itu mari kita lestarikan seni musik tradisional Karo sebagai salah satu identitas Suku Karo yang tidak boleh hilang.

selengkapnya....

artikel terkait.
Suku Batak Karo
Sangkep Nggeluh dalam Adat Karo
Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo
Rumah Adat Karo

Suku Batak Karo

               Karo adalah etnis tersendiri dengan kultur dan budaya sendiri, satu etnis besar yang pernah exis di Sumatra bagian Timur. Kebesaran dalam kultur budayanya, arsitekturnya (rumah adat) begitu juga terlihat dalam filsafat hidupnya yang menggambarkan way of thinking (filosofis) yang sudah tinggi. Bukti-bukti kebesaran ini tidak tercatat secara rapi seperti manifestasi kebudayaan dan peradaban tinggi Barat atau Yunani kuno misalnya. Dari yang pernah terlihat ialah tulisan atau goresan pada bambu seperti dalam sejarah Patimpus. Begitu juga terlihat dari cita-cita Hayam Wuruk (Gajah Mada) menaklukkan kerajaan besar satu-satunya di daerah Sumatra bagian timur, satu kerajaan besar orang kafir (pemena), karena kerajaan ini bukan muslim atau bukan Aceh maupun bukan Jawi, ( ‘Kalak Jawi’ adalah panggilan orang Karo terhadap orang islam tempo doeloe, umumnya orang Melayu).

                  Pasukan-pasukan berbagai kerajaan islam (Melayu) dari selatan dan dari laut (semenanjung Malaka) serta dari utara (Aceh, juga islam) mendesak dan menaklukkan kerajaan besar orang kafir (pemena) Haru, dan masih meninggalkan sisa pertahanan terakhir benteng Delitua yang masih terlihat sampai sekarang. Nama-nama kota dengan istilah kuta (kampung) dalam bahasa Karo tersebar mulai dari Kutaraja sampai ke Siak. Kemudian yang masih banyak terutama di Sumtim terutama di daerah-daerah etnis Karo, dan masih ada di daerah Gayo/Alas. Dalam Sumpah Palapa (1336) Gajah Mada Majapahit berjanji akan menaklukkan banyak kerajaan termasuk Haru. Tetapi yang berhasil menaklukkan Haru ternyata adalah kerajaan-kerajaan islam yang telah lama (sebelum Gajah Mada bersumpah) berusaha membinasakan kerajaan kafir terakhir didaerah Sumatra bagian Timur.

                     Dialektika adalah cara pikir dan cara pandang atas hal-ihwal dari segi-segi yang bertentangan didalamnya, atas alam dan pikiran manusia serta kehidupan dan perkembangan kehidupan manusia maupun perkembangan pikiran manusia . Orang Barat berpendapat dan mengatakan bahwa penemu pertama dialektika adalah orang Yunani Kuno bernama Heraklitos (500 SM) dalam Pantarei (air mengalir, sungai). Heraklitos menunjukkan proses atau perubahan tak henti-hentinya (dialektika alam). Orang Karo Kuno (Karo sinoria) sudah mengenal dan memakai dialektika dalam kehidupan dan cara pikirnya, dalam melihat alam dan dalam menilai perkembangan pikiran manusia. Ini terlihat dari pepatah kuno Karo (sudah ada sejak Karo lahir sebagai satu kesatuan struktur budaya dan kultur) yaitu: dalam alam (sungai) dikatakan ‘aras jadi namo, namo jadi aras’ (Pantarei Karo), dimana aras adalah bagian dangkal dalam aliran sungai, bagian yang beriak, bagian yang deras, bagian yang ribut dan pada gilirannya akan berubah jadi namo (lubuk), yaitu bagian yang dalam, bagian yang tenang. Jadi disini menggambarkan kedangkalan kontra kedalaman, keributan kontra ketenangan, dan yang satu berubah jadi yang lain lewat proses tertentu yaitu proses perubahan segi-segi bertentangan.

penari karo
                   Dan dalam pikiran, seperti ‘seh sura-sura tangkel sinanggel’ (begitu tercapai cita-cita akan muncul kesusahan), menunjukkan kegembiraan kontra kesedihan, proses tak henti-hentinya hal-hal bertentangan dalam pikiran manusia. Dialektika Karo kuno menunjukkan proses dan pertentangan dalam alam maupun dalam pikiran manusia. Dialektika Heraklitos (Pantarei) menunjukkan proses dalam alam, sungai mengalir tak henti-hentinya dan perubahan tak henti-hentinya. Kalau kita menginjakkan kaki kedua kalinya kedalam satu sungai, sungainya bukan lagi sungai ketika kita menginjakkan kaki pertama kali katanya. Dialektika alam Karo atau Pantarei Karo secara jelas tidak hanya menunjukkan proses, tetapi juga adanya segi-segi bertentangan. Kenyataan-kenyataan legendaris alamiah ini cukup membuktikan tingkat peradaban dan tingkat filsafat pemikiran etnis Karo telah ada sejak adanya Karo sebagai entitas budaya dan kultur tersendiri dan jelas terlihat dari perbandingan dengan perkembangan dialektika Yunani kuno Heraklitos. Dari logika ini menjadi jelas tak teragukan bahwa etnis Karo adalah salah satu dari etnis tertua dan sangat tinggi filsafat dialektikanya dibagian dunia Sumatera bagian timur.

selengkapnya....


artikel terkait...
Alat Musik Karo 
Sangkep Nggeluh dalam Adat Karo 
Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo 
Rumah Adat Karo